Sunday, March 27, 2011

Saturday, March 5, 2011

Ringkasan jenis saksi


Syarat-syarat saksi
§  Sekurang-kurangya dua orang
§  Islam
§  Berakal
§  Baligh
§  Lelaki
§  Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
§  Dapat mendengar, melihat dan bercakap
§  Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil)
§  Merdeka

Ringkasan jenis wali


Jenis-jenis wali
§  Wali mujbir: Wali dari bapa sendiri atau datuk sebelah bapa (bapa kepada bapa) mempunyai kuasa mewalikan perkahwinan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya atau tidak (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan bakal isteri yang hendak dikahwinkan)
§  Wali aqrab: Wali terdekat mengikut susunan yang layak dan berhak menjadi wali
§  Wali ab’ad: Wali yang jauh sedikit mengikut susunan yang layak menjadi wali, jika ketiadaan wali aqrab berkenaan. Wali ab’ad ini akan berpindah kepada wali ab’ad lain seterusnya mengikut susunan tersebut jika tiada yang terdekat lagi.
§  Wali raja/hakim: Wali yang diberi kuasa atau ditauliahkan oleh pemerintah atau pihak berkuasa negeri kepada orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu.

Ringkasan syarat menjadi wali


Syarat wali

§  Islam, bukan kafir dan murtad
§  Lelaki dan bukannya perempuan
§  Baligh
§  Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
§  Bukan dalam ihram haji atau umrah
§  Tidak fasik
§  Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
§  Merdeka
§  Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya
Sebaiknya bakal isteri perlulah memastikan syarat WAJIB menjadi wali.Sekiranya syarat2 wali bercanggah seperti di atas maka tidak sahlah sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal2 yag wajib seperti ini.Jika tidak di ambil kira, kita akan hidup di lembah zina selamanya

SYARAT Wali bagi Permpuan


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على أشرف المرسلين. أما بعد :
Para Ahli Fiqih telah menetapkan beberapa syarat menjadi wali nikah untuk perempuan. ada beberapa syarat yang telah disepakati oleh Fuqoha' dan sebagian masih diperselisihkan. Adapun 4 syarat yang disepakati adalah sebagai berikut :

1. Laki-laki

Maka tidaklah sah jika perempuan menikahkan perempuan yang lain. karena Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :

لا تزوج المرأة ُ المرأةَ ، ولا تزوج المرأة نفسها ، فإن الزانية هي التي تزوج نفسها

Artinya : "Tidaklah seorang perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan tidaklah perempuan menikahkan dirinya sendiri. sesungguhnya wanita pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri." (HR Ibnu Majjah dan Ad-Daruquthni)

Ibnu Qudamah mengatakan dalam al-Mughni : (jenis kelamin) laki-laki adalah syarat menjadi wali berdasarkan kesepakatan semua ulama.

2. Islam

Syarat ini harus ada dalam diri seorang yang menjadi wali perempuan untuk menikahkannya. karena orang kafir tidak bisa menjadi wali bagi muslim, walaupun itu ayah kandungnya. Allah berfirman :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Artinya : "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir atas orang-orang yang beriman." (QS An-Nisa : 141)

Ibnu Al-Mundzir berkata dalam al-Ijma' : Ulama sepakat bahwa seorang kafir tidak bisa menjadi wali bagi anak perempuannya yang muslimah.

3. Baligh

Tidaklah sah akad nikah yang mana anak kecil (belum baligh) yang menjadi wali karena ketidak mampuannya. ini adalah pendapat kebanyakan ulama diantaranya adalah Ats-Tsaury, Asy-Syafi'i, Ishaq, Ibnu Al-Mundzir, Abu Tsaur, dan salah satu riwayat dari Ahmad. dan dalam riwayat lain dari Ahmad mengatakan bahwa jika anak telah berumur 10 tahun maka dia bisa menikahkan, menikah dan mentalak. dan perkataan yang pertama (tidak sah anak kecil menjadi wali) adalah perkataan yang lebih kuat dan digunakan dalam fatwa-fatwa di madzhab hambali. Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni : Anak kecil membutuhkan seorang wali (dalam berbagai hal) karena dia belum mumpuni. maka tidaklah bisa dia menjadi wali bagi orang lain.

4. Akal

Tidaklah sah akad nikah yang dilakukan oleh orang gila, yang hilang akalnya, dan orang yang mabuk. karena orang yang hilang akalnya tidak dapat mengurus dirinya sendiri, bagaimana dia dapat memberikan manfaat bagi orang lain?! dan termasuk dalam orang yang hilang akalnya adalah, akan kecil yang belum mumayyiz dan orang tua yang telah lemah akal/ingatannya (pikun).

Fakta tentang ibu and anak nya.....


New York, Filsuf Aristoteles pernah bilang rasa cinta ibu terhadap anaknya lebih besar dibandingkan ayah. Penelitian terbaru menunjukkan kuatnya hubungan ibu dan anak melibatkan senyawa kimia yang lebih kompleks.

Penelitian perilaku neuroscience terbaru menunjukkan rasa cinta ibu dan anaknya melibatkan senyawa kimia yang lebih kompleks dibandingkan pepatah Aristoteles, yaitu melibatkan hormon oksitosin.

Ilmuwan telah mengidentifikasi hormon oksitosin memainkan peran yang penting dalam ikatan antar manusia. Meskipun perilaku dari hormon ini pada manusia belum sepenuhnya dipahami oleh banyak peneliti.

Hormon oksitosin memainkan sejumlah peran di dalam tubuh manusia, terutama berperan penting pada seorang perempuan yang baru menjadi ibu. Hal ini disebabkan karena oksitosin dapat membantu menginduksi proses persalinan dan menstimulasi proses laktasi (menyusui).

"Oksitosin memfasilitasi atau membantu proses persalinan dan menyusui, karena itu hormon ini dipercaya juga ikut berperan dalam pembentukan ikatan antara ibu dan anak serta perilaku dari ibu itu sendiri," ujar Jennifer Bartz, asisten professor psikiatri di Mount Sinai Medical Center di New York, seperti dikutip dari LiveScience, Senin (10/5/2010).

Pengaruh dari hormon oksitosin dalam pembentukan ikatan antara ibu dan anak menjadi alasan mengapa ikatan antara ibu dan anak lebih kuat dibandingkan dengan sang ayah.

Meskipun belum banyak hal yang bisa dipahami dari kerja hormon oksitosin ini, tapi sebuah penelitian telah menunjukkan peran dari oksitosin. Hormon ini dapat membantu individu mengingat wajah orang-orang yang mereka sukai dan membedakannya dengan orang yang tidak disukai.

"Kemungkinan salah satu hal yang difasilitasi oleh oksitosin adalah membantu dalam hal memori sosial, sehingga membuat seseorang memiliki pilihan untuk individu tertentu," ungkap Bartz

My laz will 4 u....


Waaaaaaaaaaa
Stress giller…
Dalam hati penuh mengutuk mereka..
Nape aku emo sgt nie…
Nape aku nk samakn diri nie ngan mereka..
Bkn ker aku bahagia selama ini…
Ada mak yg syg giller kt kau…
Nape aku rasa kecewa giller skrg nie..
Apa salah kami….
Bkn ke kteowg mmg bgini..
Perlu ker bergaul ngan kowg..
Walaupun memsing da g haji ke umrah nape begi2 sifat kowg….
X rasa risau ke akan azb nya….
Tolong lor ingat mati..
Sudah2  lor 2….
I hate u…
So much please goto hell all of u…
Please leave me alone..
Please don’t touch my family..
Their  my precious….
I will hate u till my end of life if make my family cry..
Please go to hell…
Please lor….
To all my father sibling please go to hell…
Please…..
Hup all of u happy at there…
Peace no war..
Diz is my will 2 all
My father sibling….
Which annoys me so much….

Tahu kah anda golongan orang yang mendustakan agama?


Apabila ditanya soalan diatas, kemungkinan besar ramai yang akan menjawab: “Para peguam yang membela orang murtad, para aktivis Islam Liberal, golongan Anti Hadis……” dan seterusnya. Yang pasti ia bukan kita kerana kita mendirikan solat lima kali sehari, berpuasa pada bulan Ramadan, mengeluarkan zakat harta dan menunaikan haji. Justeru kita bukan di kalangan mereka yang mendustakan agama.

Sebenarnya yang bertanya soalan di atas adalah Allah Subhanahu wa Ta‘ala melalui firman-Nya yang bermaksud:

Tahukah engkau akan orang yang mendustakan agama (meliputi Hari Pembalasan)? [al-Maun 107:1]

Jawapannya yang mengikuti persoalan ini sangat jauh berbeza daripada apa yang disangkakan oleh kebanyakan kita. Ia bukan para peguam atau aktivis di atas dan ia juga bukan orang yang sengaja enggan solat, enggan puasa. Ini kerana jawapan-jawapan tersebut sudah diketahui ramai. Namun Allah menjawab dengan sesuatu yang jarang-jarang diberi perhatian oleh umat Islam, iaitu:

Orang itu ialah yang menindas serta berlaku zalim kepada anak yatim, Dan dia tidak menggalakkan untuk memberi makanan yang berhak diterima oleh orang miskin. [al-Maun 107:2-3]

Demikian dua sifat orang-orang yang mendustakan agama dan Hari Pembalasan. Pertama adalah mereka yang menindas serta berlaku zalim kepada anak yatim. Kedua adalah mereka yang tidak mengajak orang ramai melakukan kebajikan kepada mereka yang kurang bernasib baik, khasnya orang miskin.

Demikian dua kategori yang pada pengamatan saya, memang kurang diberi perhatian oleh umat Islam masa kini. Di antara dua kategori tersebut, saya ingin memberi tumpuan kepada kategori pertama agar ia menjadi nasihat serta bimbingan kepada diri saya dan para pembaca sekalian.


Berbuat baik kepada anak yatim termasuk kesempurnaan tauhid.
Dalam surah al-Nisa, ayat 36, Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:

Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apa jua; dan hendaklah kamu berbuat baik (ihsan) kepada kedua ibu bapa, dan kaum kerabat, dan anak-anak yatim ……

Setelah memerintahkan kita beribadah kepada-Nya dan larangan daripada menyekutukan-Nya dengan apa jua, Allah Subhanahu wa Ta‘ala melanjutkan kepada perintah berbuat ihsan kepada ibubapa, kaum kerabat dan anak yatim. Paling kurang terdapat dua pengajaran penting daripada ayat ini.

Pertama, ciri-ciri seorang Muslim yang mentauhidkan Allah tidak cukup sekadar beribadah kepadanya dan menjauhi perkara-perkara syirik, tetapi ia perlu disempurnakan dengan menjaga hubungan dengan sesama manusia. Hubungan ini dimulai dengan ibubapanya, kaum kerabatnya, anak yatim dan seterusnya. Seseorang yang tidak menjaga hubungan ini, bererti tauhidnya kepada Allah masih belum sempurna.

Kedua, hubungan yang perlu dijaga bukan sekadar kebiasaan, tetapi dengan kebaikan yang melebihi kebiasaan. Demikian maksud perkataan “ihsan” sebagaimana yang diterangkan oleh para ahli tafsir. Sifat ihsan ini lebih mudah difahami dengan cara kita mengandaikan anak yatim tersebut adalah anak kita sendiri yang pada satu ketika kita tinggalkannya kepada seseorang untuk menjaganya. Sudah tentu kita mahu agar orang tersebut melayan anak kita tidak sekadar kebiasaan tetapi dengan penuh kasih sayang, belaian dan perhatian. Andaian ini disebut sendiri oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala dalam ayat berikut:

Dan hendaklah takut (kepada Allah daripada melakukan aniaya kepada anak-anak yatim oleh) orang-orang (yang menjadi penjaganya), yang jika ditakdirkan mereka pula meninggalkan anak-anak yang dhaif (yatim) di belakang mereka, (tentulah) mereka akan merasa bimbang terhadap (masa depan dan keselamatan) anak-anak mereka; oleh itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang betul (menepati kebenaran).
[al-Nisa’ 4:09]


Justeru berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat kita ketahui betapa pentingnya Islam memandang kepada anak yatim. Bagaimana kita berinteraksi dengan anak yatim bakal menentukan kedudukan di Hari Pembalasan, sama ada syurga atau neraka. Mudahnya, anak yatim mampu menolak kita ke neraka atau menarik kita ke syurga. Jika ke syurga, tidak cukup sekadar syurga tetapi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana janji baginda:

Aku dan orang yang menanggung anak yatim di syurga adalah seperti ini…baginda mengisyaratkan jari telunjuk dengan jari tengahnya. [Shahih al-Bukhari, hadis no: 6005]


Menyentuh tentang bagaimana kita berinteraksi dengan anak yatim, terdapat beberapa perkara yang saya rasa perlu diketengahkan.


Pertama: Boleh memarahi anak yatim dalam rangka mendidiknya.
Sebahagian orang ada yang berpandangan bahawa kita dilarang daripada memarahi anak yatim. Memarahi anak yatim dipandang sebagai menindas dan berlaku zalim, yang dilarang oleh ayat pertama dan kedua surah al-Maun di atas. Ini sebenarnya adalah satu salah faham. Larangan di atas ditujukan kepada mereka yang memandang hina anak yatim, lalu memarahinya kerana dia adalah anak yatim. Orang sebeginilah yang merupakan pendusta agama dan Hari Pembalasan.

Selain dari itu, sebagai langkah terakhir dalam proses pendidikan, kita dibolehkan memarahi anak yatim sebagaimana anak-anak yang biasa. Jika anak yatim tersebut tetap malas, degil dan nakal setelah nasihat yang hikmah lagi bijaksana sudah disampaikan, maka memarahinya dibolehkan dalam rangka mendidiknya.

Ditekankan, bahawa kebolehan memarahi anak hanya sebagai langkah terakhir dan ia dilakukan dalam proses pendidikan. Memarahi anak secara kerap tidak akan membawa manfaat kepada proses pendidikan, malah merosakkannya. Di sini kita perlu berada dipertengahan antara dua ekstrim dalam pendidikan anak, iaitu di antara mereka yang asyik memarahi anak dan mereka yang asyik memanjakan anak.


Kedua: Anak yatim tidak mewarisi kesalahan ibubapanya.
Salah satu kepercayaan kurafat yang merupakan aqidah sebahagian besar masyarakat Islam kita adalah dosa warisan. Iaitu seseorang anak akan mewarisi dosa kesalahan yang dilakukan oleh ibubapanya. Jika kita membaca di akhbar laporan anak kecil yang sakit sekian-sekian memerlukan derma untuk menanggung kos perubatan, akan ada di kalangan kita yang ke hadapan menghulurkan derma: “Inilah adalah kesan daripada kesalahan ibubanya satu masa dahulu”. Berbeza dengan kaum bukan Islam, mereka ke hadapan dengan mengambil pen dan menulis cek sumbangan RM sekian-sekian.

Anak yatim tidak terlepas daripada menjadi mangsa aqidah kurafat ini. Saya biasa menemui orang yang memandang hina kepada anak yatim dengan alasan kerana mereka adalah produk hubungan terlanjur sebelum bernikah. Ada juga yang pada mulanya diam, namun apabila melihat kerenah anak yatim yang malas, kebelakang dalam pelajaran atau nakal, mereka memberi komen: “Inilah kesan-kesan kesalahan ibubapanya yang telah terlanjur”. Padahal tidak semua anak yatim berasal daripada hubungan yang terlanjur.

Terlebih penting, sekali pun anak yatim tersebut berasal daripada hubungan yang terlanjur, mereka tidak sedikit jua mewarisi kesalahan “ibubapa” mereka. Ini kerana konsep dosa warisan, iaitu konsep dosa yang diperoleh secara automatic oleh anak daripada kesalahan ibubapanya, adalah aqidah yang berasal dari agama lain. Bagi Islam, setiap individu adalah dengan pahala atau dosanya sendiri tanpa dizalimi dengan cara dibebani secara automatic oleh dosa orang lain, termasuk ibubapanya. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:

Sesiapa yang membawa amal kebaikan (pada Hari Kiamat), maka baginya (balasan) sepuluh kali ganda (dari kebaikan) yang sama dengannya; dan sesiapa yang membawa amal kejahatan, maka dia tidak dibalas melainkan (kejahatan) yang sama dengannya; sedang mereka tidak dizalimi (sedikitpun). [al-An’aam 6:160]


Demikian juga tidak ada konsep “pahala warisan” dalam Islam sehingga seorang anak secara automatic mendapat pahala daripada amal kebajikan ibubapanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah berpesan kepada kaum kerabatnya bahawa mereka tidak mewarisi pahala daripadanya di hadapan Allah kelak:

Wahai Fathimah! Peliharalah diri engkau daripada api neraka. Sesungguhnya aku tidak memiliki apa-apa kekuasaan di hadapan Allah kecuali bahawa bagi kalian kekerabatan yang akan aku sambung dengan kalian. [Shahih Muslim, hadis no: 204]


Oleh itu kita semua perlu membersihkan aqidah kurafat “dosa dan pahala warisan” yang diyakini selama ini. Merujuk kepada anak yatim, mereka tidak mewarisi apa-apa dosa dan kesalahan daripada keterlanjuran “ibubapa” mereka. Seandainya anak yatim tersebut malas, kebelakang dalam pelajaran atau nakal, maka ia adalah sifat fitrah mereka sebagai kanak-kanak. Ia tiada kaitan langsung dengan status diri mereka sebagai anak yatim.


Ketiga: Bijak dalam mengurusi harta anak yatim.
Menyentuh persoalan harta anak yatim, ada empat ayat yang perlu kita kaji dan fahami:

Pertama:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu hanyalah menelan api ke dalam perut mereka; dan mereka pula akan masuk ke dalam api neraka yang menyala-nyala. [al-Nisa’ 4:10]


Kedua:

Dan janganlah kamu hampiri harta anak yatim melainkan dengan cara yang baik (untuk mengawal dan mengembangkannya), sehingga ia baligh (dewasa, serta layak mengurus hartanya dengan sendiri). [al-An’aam 6:152 dan al-Isra’ 17:34]


Ketiga:

Dan sesiapa (di antara penjaga harta anak-anak yatim itu) yang kaya maka hendaklah dia menahan diri (dari memakannya); dan sesiapa yang fakir maka bolehlah dia memakannya dengan cara yang sepatutnya. [al-Nisa 4:06]


Keempat:

Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad), mengenai (masalah) anak-anak yatim. Katakanlah: “Memperbaiki keadaan anak-anak yatim itu amatlah baiknya”, dan jika kamu bercampur gaul dengan mereka (maka tidak ada salahnya) kerana mereka itu ialah saudara-saudara kamu; dan Allah mengetahui akan orang yang merosakkan (harta benda mereka) daripada orang yang hendak memperbaikinya. Dan jika Allah menghendaki tentulah Dia memberatkan kamu (dengan mengharamkan bercampur gaul dengan mereka). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.
[al-Baqarah 2:220]


Ayat pertama mengharamkan penggunaan harta anak yatim oleh mereka yang menjaga secara khusus dan umat Islam secara umum. Ia membentuk hukum dasar bagi harta anak yatim, iaitu kita dilarang daripada menggunakannya. Namun terhadap pelarangan ini terdapat pengecualian (ayat kedua), iaitu apabila seseorang itu ingin menjaga keselamatan harta tersebut dengan menyimpannya dalam bank, atau mengembangkan harta tersebut melalui pelaburan, maka ia dibolehkan selagi mana dipastikan bahawa kemungkinan meraih keuntungan adalah jauh lebih tinggi daripada kemungkinan mendapat kerugian.

Pengecualian kedua merujuk kepada ayat ketiga (al-Nisa 4:06) dimana seorang penjaga anak yatim yang fakir dibolehkan mengambil sebahagian harta anak yatim untuk menampung kos penjagaannya. Pengambilan ini hendaklah dilakukan secara amanah dan pada kadar yang berpatutan. Setiap sen yang diambilnya akan diaudit semula oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala pada Hari Akhirat nanti.

Imam Ibn Katsir rahimahullah ketika membicara ayat keempat (al-Baqarah 2:220) mengemukakan beberapa riwayat bahawa apabila turun ayat pertama dan kedua di atas, para sahabat mengalami kesukaran untuk membezakan antara harta mereka dan harta anak yatim dalam hal-hal yang mudah bercampur. Antaranya berkenaan makanan, dimana dipisahkan antara makanan anak yatim dan makanan mereka. Jika makanan anak yatim ada yang terlebih, mereka tidak berani menyentuhnya sehingga makanan tersebut akhirnya rosak dan dibuang begitu sahaja.

Kesukaran ini kemudian dipermudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘aladimana mereka disuruh untuk tidak begitu ketat apabila berinteraksi dengan harta anak yatim dalam hal-hal yang mudah bercampur. Para penjaga anak yatim tidak dituntut sehingga ke tahap memisah dan membezakan sesuatu perkara untuk kegunaan mereka atau kegunaan anak yatim. Sebaliknya dibolehkan menggunakannya secara bersama:“…jika kamu bercampur gaul dengan mereka (maka tidak ada salahnya) kerana mereka itu ialah saudara-saudara kamu…”Namun semua ini hendaklah tetap dilakukan dengan sikap amanah kerana: “…Allah mengetahui akan orang yang merosakkan (harta benda mereka) daripada orang yang hendak memperbaikinya.”


Keempat: Anak-anak yatim memerlukan keihsanan kita sepanjang tahun.
Berbuat ihsan kepada anak yatim tidak secukup sekadar sebulan. Maksud saya, alhamdulillah, memang ada sebahagian umat Islam yang prihatin berbuat ihsan kepada anak yatim. Namun kelihatannya keihsanan tersebut hanya dicurahkan dalam bulan Ramadhan. Ya! Dalam bulan Ramadan anak-anak yatim dicurahi dengan pelbagai jamuan berbuka puasa dan baju Raya.

Akan tetapi selepas bulan Ramadhan, anak-anak yatim kembali daripada Nasi Tomato dan Ayam Kurma kepada nasi keras dan ikan kering. Baju-baju yang diberi dipakai seharian berulang kali. Paling memberi kesan kepada mereka adalah kembalinya daripada perasaan diterima masyarakat kepada perasaan dipinggiri masyarakat.

Justeru bagi mereka yang berbuat ihsan kepada anak yatim pada bulan Ramadhan, lanjutkanlah ia pada bulan-bulan selepas Ramadhan, sepanjang tahun. Bagi mereka yang baru hendak mencuba-cuba berbuat ihsan kepada anak yatim, maka tak perlu tunggu pada bulan Ramadhan. Lakukanlah ia pada bila-bila masa anda berkesempatan. Firman Allah:

Bukanlah perkara kebajikan itu hanya kamu menghadapkan muka ke timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah berimannya seseorang kepada Allah, Hari Akhirat, segala malaikat, segala Kitab, dan sekalian Nabi; serta mendermanya seseorang akan hartanya sedang dia menyayanginya kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta dan untuk memerdekakan hamba-hamba abdi;

Dan mengerjanya seseorang akan sembahyang serta mengeluarkan zakat; dan orang-orang yang menyempurnakan janjinya apabila mereka membuat perjanjian; dan ketabahan orang-orang yang sabar dalam masa kesempitan, kesakitan dan dalam masa bertempur dalam perjuangan perang Sabil. Orang-orang yang demikian sifatnya), mereka itulah orang-orang yang benar (beriman dan mengerjakan kebajikan); dan mereka itulah juga orang-orang yang bertaqwa. [al-Baqarah 2:177]



sejarah berdarah 1


Ya allah berat dugaan ini…
Ku sangkakan redup rupa2 nya mendung bercmpur ribut..
Apa salah kami….
Knapa mereka jd begitu….
Ya allah bila aku mendoakan supaya mereka cepat mmati..
Mak marah, mak suruh aku doakn dowg benda yg baik2 saja…
Tp dowg  mmg ptut mati…
Aku nk dowg pergi dr idup aku..
Seyezly semakin aku membesar dowg melatih aku mn jd
Semakin benci pada mereka
Tahu x bertapa sakit hati ini…
Dowg x pernah pk psal kami….
Tahu nk mgungkit saje….
Da giller agak nyer….
Suka suki je nk lecture kteowg..
Do self reflection lor…